Minggu, 17 November 2013

Environment Impact Analysis ( AMDAL )

A. Pengertian AMDAL 

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, yang sering disingkat AMDAL, merupakan reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. Dengan ini timbullah citra bahwa gerakan lingkungan adalah anti pembangunan dan anti teknologi tinggi serta menempatkan aktivis lingkungan sebagai lawan pelaksana dan perencana pembangunan.

Karena itu banyak pula yang mencurigai AMDAL sebagai suatu alat untuk menentang dan menghambat pembangunan.
Dengan diundangkannya undang-undang tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, yaituNational Environmental Policy Act (NEPA) pada tahun 1969. NEPA mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1970. Dalam NEPA pasal 102 (2) (C) menyatakan,
“Semua usulan legilasi dan aktivitas pemerintah federal yang besar yang akan diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporanEnvironmental Impact Assessment (Analsis Dampak Lingkungan) tentang usulan tersebut”.

AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.

Pembangunan yang tidak mengorbankan lingkungan dan/atau merusak lingkungan hidup adalah pembangunan yang memperhatikan dampak yang dapat diakibatkan oleh beroperasinya pembangunan tersebut. Untuk menjamin bahwa suatu pembangunan dapat beroperasi atau layak dari segi lingkungan, perlu dilakukan analisis atau studi kelayakan pembangunan tentang dampak dan akibat yang akan muncul bila suatu rencana kegiatan/usaha akan dilakukan.

AMDAL adalah singkatan dari analisis mengenai dampak lingkungan. Dalam peraturan pemerintah no. 27 tahun 1999 tentang analisis mengenai dampak lingkungan disebutkan bahwa AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain:
a.       jumlah manusia yang terkena dampak
b.      luas wilayah persebaran dampak
c.       intensitas dan lamanya dampak berlangsung
d.      banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
e.       sifat kumulatif dampak
f.       berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak


B. Parameter AMDAL 

Seperti diketahui bahwa lingkungan merupakan suatu sistem dimana terdapat interaksi antara berbagai macam parameter lingkungan didalamnya.  Misalnya suatu penentuan lahan (zoning) untuk pembangunan perumahan dapat menyebabkan erosi tanah ditempat lain karena adanya dislokasi bebatuan atau dapat menyebabkan hilangnya tingkat kesuburan tanah akibat terkikisnya lapisan atas lahan tersebut.
Parameter atau atribut lingkungan dapat dikategorikan menjadi tiga jenis :

-Parameter terperinci yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan keadaan lingkungan di mana setiap perubahan dari parameter ini akan merupakan indikator dari perubahan-perubahan dalam lingkungan yang bersangkutan.

-Parameter umum yaitu suatu tinjauan singkat atas parameter lingkungan yang secara umum dapat menggambarkan sifat dari dampak-dampak yang potensial terhadap lingkungan.

-Parameter controversial yaitu parameter lingkungan yang karena usaha-usaha pembangunan fisik mendapat dampak lingkungan tertentu atas dampak yang terjadi ini kemudian timbul suatu reaksi yang bertentangan dari masyarakat umum.

Parameter lingkungan yang harus dianalisis pada operasi AMDAL, meliputi :

A. Dampak lingkungan langsung :

Faktor fisis biologis :


  • Udara
  • Air
  • Lahan
  • Aspek ekologi hewan dan tumbuhan
  • Suara
  • SDA termasuk kebutuhan energi


Faktor Sosial Budaya


  • Taat cara hidup
  • pola kebutuhan psikologis
  • sistem psikologis
  • kebutuhan lingkungan sosial
  • pola sosial budaya


Faktor Ekonomi


  • Ekonomi regional dan ekonomi perkotaan
  • Pendapatan dan pengeluaran sector public
  • Konsumsi dan pendapatan perkapita 


B. Dampak lingkungan langsung :

- Perluasan pemanfaatan lahan
- Pengembangan kawasan terbangun
- Perubahan gaya hidup karena meningkatnya daya mobilitas masyarakat dll.
Berdasarkan penjabaran diatas maka dapat dikemukakan bahwa “Analisis Dampak Lingkungan” adalah suatu studi tentang kemungkinan perubahan-perubahan yang terjadi dalam berbagai karakteristik sosial ekonomi dan biologis dari suaut lingkungan yang mungkin disebabkan oleh suatu tindakan yang direncanakan maupun tindakan pembangunan yang telah dilaksanakan dan merupakan ancaman terhadap lingkungan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :


  • Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-AMDAL)
  • Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
  • Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
  • Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

AMDAL digunakan untuk:


  • Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
  • Membantu proses pengambilan keputusan tentang kelayakan lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
  • Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
  • Memberi informasi bagi masyarakat atas dampak yang ditimbulkan dari suatu rencana usaha dan atau kegiatan


Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah:

Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL


  • Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
  • masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.


Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:


  1. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012
  2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010
  3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006
  4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008


C. Inti AMDAL 


Tiga nilai-nilai inti AMDAL :


  • integritas-dalam proses AMDAL akan sesuai dengan standar yang disepakati.
  • utilitas - dalam proses AMDAL akan menyediakan seimbang, kredibel informasi untuk keputusan.
  • kesinambungan - dalam proses AMDAL akan menghasilkan perlindungan lingkungan.


Manfaat AMDAL meliputi:.


  • berwawasan lingkungan dan berkelanjutan desain.
  • kepatuhan dengan standar yang lebih baik.
  • tabungan modal dan biaya operasi.
  • mengurangi waktu dan biaya untuk persetujuan.
  • proyek peningkatan penerimaan.
  • perlindungan yang lebih baik terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.


Apa maksud dan tujuan dari AMDAL?

Maksud dan tujuan dari AMDAL dapat dibagi menjadi dua kategori. Itu tujuan langsung AMDAL adalah untuk memberi proses pengambilan keputusan oleh berpotensi signifikan mengidentifikasi dampak lingkungan dan risiko proposal pembangunan. Tertinggi (jangka panjang) Tujuan AMDAL adalah untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dengan memastikan bahwa usulan pembangunan tidak merusak sumber daya kritis dan fungsi ekologis atau kesejahteraan, gaya hidup dan penghidupan masyarakat dan bangsa yang bergantung pada mereka.

Tujuan langsung AMDAL adalah untuk:

  • memperbaiki desain lingkungan proposal;
  • memastikan bahwa sumber daya tersebut digunakan dengan tepat dan efisien;
  • mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi potensi dampak proposal; dan
  • informasi memfasilitasi pengambilan keputusan, termasuk pengaturan lingkungan syarat dan ketentuan untuk menerapkan usulan tersebut.


Tujuan jangka panjang AMDAL adalah untuk:

  • melindungi kesehatan dan keselamatan manusia;
  • menghindari perubahan ireversibel dan kerusakan serius terhadap lingkungan;
  • menjaga sumber daya berharga, daerah alam dan komponen ekosistem; dan
  • meningkatkan aspek-aspek sosial dari proposal.

D. Proses AMDAL dalam Hukum Pranata Pembangunan 


AMDAL adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, merupakan reaksi terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas manusia yang semakin meningkat. Reaksi ini mencapai keadaan ekstrem sampai menimbulkan sikap yang menentang pembangunan dan penggunaan teknologi tinggi. 

Dengan ini timbullah citra bahwa gerakan lingkungan adalah anti pembangunan dan anti teknologi tinggi serta menempatkan aktivis lingkungan sebagai lawan pelaksana dan perencana pembangunan. Karena itu banyak pula yang mencurigai AMDAL sebagai suatu alat untuk menentang dan menghambat pembangunan.
 
AMDAL mulai berlaku di Indonesia tahun 1986 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1086. Karena pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 mengalami beberapa hambatan yang bersifat birokratis maupun metodologis, maka sejak tanggal 23 Oktober 1993 pemerintah mencabut PP No. 29 Tahun 1986 dan menggantikannya dengan PP No. 51 Tahun 1993 tentang AMDAL dalam rangka efektivitas dan efisiensi pelaksanaan AMDAL. 

Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 23 Tahun 1997, maka PP No. 51 Tahun 1993 perlu disesuaikan. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999. Melalui PP No. 27 Tahun 1999 ini diharapkan pengelolaan lingkungan hidup dapat lebih optimal.

AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup antara lain:

  • jumlah manusia yang terkena dampak
  • luas wilayah persebaran dampak
  • intensitas dan lamanya dampak berlangsung
  • banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak
  • sifat kumulatif dampak
  • berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak

DOKUMEN AMDAL
Dokumen AMDAL merupakan sumber informasi bagi masyarakat luas. Dokumen AMDAL terdiri atas lima dokumen penting, yaitu

  1. Kerangka Acuan (KA)
  2. Sebagai dasar pelaksanaan studi AMDAL.
  3. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
  4. Sebagai dokumen yang memuat studi dampak lingkungan.
  5. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
  6. Merupakan upaya-upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi dampak negatif dan meningkatkan dampak positif, misalnya pengelolaan sampah.
  7. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
  8. Upaya pemantauan untuk melihat kinerja upaya pengelolaan.
  9. Executive Summary
  10. Memuat ringkasan dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
 
Hal yang harus diperhatikan adalah
  1. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008
  2. Penentuan kriteria wajib AMDAL, saat ini, Indonesia menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006
  3. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002
  4. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006

PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSES AMDAL
  1. Komisi Penilai AMDAL, komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL
  2. Pemrakarsa, orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, dan
  3. masyarakat yang berkepentingan, masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.

`           Suatu rencana kegiatan dapat dinyatakan tidak layak lingkungan, jika berdasarkan hasil kajian AMDAL, dampak negatif yang timbulkannya tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia. Demikian juga, jika biaya yang diperlukan untuk menanggulangi dampak negatif lebih besar daripada manfaat dari dampak positif yang akan ditimbulkan, maka rencana kegiatan tersebut dinyatakan tidak layak lingkungan. Suatu rencana kegiatan yang diputuskan tidak layak lingkungan tidak dapat dilanjutkan pembangunannya.

Rangkuman :
Dengan adanya AMDAL ini kita dapat mengetahui dampak pembangunan pada lingkungan, sehingga dalam pembangunan itu kita tidak merusak lingkungan alami yang telah ada, dan dengan adanya AMDAL ini juga kita dapat sedikit membantu memperbaiki lingkungan.

Sumber :




Perencanaan Fisik Pembangunan

PERENCANAAN FISIK PEMBANGUNAN
 Perencanaan fisik pembangunan pada hakikatnya dapat diartikan sebagai suatu usaha pengaturan dan penataan kebutuhan fisik untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dengan berbagai kegiatan fisiknya.
Bidang Perencanaan Fisik & Prasarana Wilayah

Kepala Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana Wilayah, mempunyai tugas:


  • Membantu Kepala BAPPEDA dalam melaksanakan sebagian tugas pokok dibidang perencanaan fisik dan prasarana.
  • Mengumpulkan dan mempelajari peraturan perundang-undangan, kebijakan pedoman dan petunjuk teknis bidang perencanaan fisik dan prasarana wilayah.
  • Menyusun perencanaan pembangunan bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH dan penataan ruang.
  • Mengkoordinasikan dan memadukan rencana pembangunan bidang PU, Perumahan, perhubungan, LH dan penataan ruang.
  • Melaksanakan inventarisasi permasalahan di bidang fisik dan prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijakan pemecahan masalah.
  • Melakukan dan mengkordinasikan penyusunan program tahunan di bidang fisik dan prasarana Wilayah yang meliputi bidang PU, Perumahan, Perhubungan, LH dan Penataan ruang dalam rangka pelaksanaan RENSTRA Daerah atau kegiatan-kegiatan yang diusulkan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat.
  • Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
  • Melaksanakan tugas-tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.
  • Bidang Perencanaan Fisik dan Prasarana dibagi menjadi dua Sub Bidang yaitu, Sub Bidang Tata Ruang & Lingkungan dan Sub Bidang Prasarana Wilayah.


Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan

Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan mempunyai tugas:


  • Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di bidang tat ruang dan lingkungan.
  • Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program Tata Ruang dan Lingkungan yang serasi.
  • Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan Tata Ruang dan Lingkungan.
  • Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan sub bidang Tata Ruang dan Lingkungan.
  • Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
  • Memberikan saran dan pertimbangan kepada atasan sesuai dengan bidang tugasnya.
  • Melaksanakan tugas laun yang diperintahkan oleh atasan.


-Sub Bidang Prasarana Wilayah

Sub Bidang Prasarana Wilayah mempunyai tugas:


  • Membantu Kepala Bidang dalam menyelenggarakan sebagian tugas pokok di Sub Budang Prasarana Wilayah
  • Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program bidang Prasarana Wilayah
  • Mempersiapkan bahan penyusunan rencana dan program pembangunan PU, Perumahan dan Perhubungan.
  • Melaksanakan koordinasi kepada instansi yang berkaitan dengan Sub Bidang Prasarana Wilayah.
  • Melaksanakan inventarisasi permasalahan di Sub Bidang Prasarana Wilayah serta merumuskan langkah-langkah kebijaksanaan pemecahan masalah.
  • Memberikan saran dan pertimbangan kepada aasan sesuai dengan bidang tugasnya.
  • Melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh atasan.


Bidang Perencanaan, Sarana dan Prasarana  

Bidang Perencanaan Fisik dan Tata Ruang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Bappeda dengan lingkup perencanan tata ruang, sarana dan prasarana.
Untuk melaksanakan tugas pokok, Perencanaan Tata Ruang, Sarana dan Prasarana mempunyai fungsi :


  • Penyusunan bahan perumusan kebijakan teknis  perencanaan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
  • Penyusunan petunjuk teknis lingkup perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana;
  • Pembinaan dan pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasarana; dan
  • Pembinaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan  pelaksanaan perencanaan lingkup  perencanaan tata ruang dan lingkungan hidup, serta perencanaan sarana dan prasaran.


Kepala Bidang Fisik dan tata ruang membawahi 2 ( dua ) Sub Bidang  yaitu :

1. Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas bidang perencanaan fisik dan tata ruang lingkup tata ruang dan lingkungan hidup;
Untuk menjalankan tugas pokoknya,

Pengembangan SDA dan Kerjasama Pembangunan hidup mempunyai fungsi:


  1. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
  2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup
  3. Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup yang meliputi penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Lingkungan Hidup, penyusunan rencana  pembangunan pengelolaan kawasan  tata ruang dan lingkungan hidup, serta kerjasama perencanaan pembangunan tata ruang dan lingkungan hidup
  4. Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup tata ruang dan lingkungan hidup


2. Bidang Perencanaan dan Teknolgi  mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Bidang Perencanaan fisik dan tata ruang lingkup infrastruktur dan prasarana Kabupaten.

Untuk menjalankan tugas pokoknya, Sub Perencanaan dan Teknolgi Kabupaten mempunyai fungsi :


  1. Pengumpulan dan penganalisaan data lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
  2. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
  3. Pelaksanaan pengkoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten yang meliputi penyusunan Rencana pembangunan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten,  serta kerjasama perencanaan Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten
  4. Evaluasi dan Pelaporan pelaksanaan lingkup Infrastruktur dan Prasarana Kabupaten


A. Skema Perencanaan 



B. Distribusi Tata Ruang Lingkup 


Peran Perencanaan dalam 4 lingkup :
o Lingkup Nasional
o Lingkup Regional
o Lingkup Lokal
o Lingkup Sektor Swasta

LINGKUP NASIONAL 

 Kewenangan semua instansi di tingkat pemerintah pusat berada dalam lingkup kepentingan secara sektoral.
 Departemen-departemen yang berkaitan langsung dengan perencanaan fisik khususnya terkait dengan pengembangan wilayah antara lain adalah :

Dept. Pekerjaan Umum
Dept. Perhubungan
Dept. Perindustrian
Dept. Pertanian
Dept. Pertambangan
Energi, Dept. Nakertrans. 

 Dalam hubungan ini peranan Bappenas dengan sendirinya juga sangat penting.
 Perencanaan fisik pada tingkat nasional umumnya tidak mempertimbangkan distribusi kegiatan tata ruang secara spesifik dan mendetail.

 Tetapi terbatas pada penggarisan kebijaksanaan umum dan kriteria administrasi pelaksanaannya.
 Misalnya:

 suatu program subsidi untuk pembangunan perumahan atau program perbaikan kampung pada tingkat nasional tidak akan dibahas secara terperinci dan tidak membahas dampak spesifik program ini pada suatu daerah. 

 Yang dibicarakan dalam lingkup nasional ini hanyalah, daerah atau kota yang memenuhi kriteria yang ditetapkan dan studi kelayakan dalam skala yang luas.
 Jadi pemilihan dan penentuan daerah untuk pembangunan perumahan tadi secara spesifik menjadi wewenang lagi dari pemerintaan tingkat lokal. 

 Meskipun rencana pembangunan nasional tidak dapat secara langsung menjabarkan perencanan fisik dalam tingkat lokal tetapi sering kali bahwa program pembangunan tingkat nasional sangat mempengaruhi program pembangunan yang disusun oleh tingkat lokal.

  Sebagai contoh, ketidaksingkronan program pendanaan antara APBD dan APBN, yang sering mengakibatkan kepincangan pelaksanaan suatu program pembangunan fisik, misalnya; bongkar pasang untuk rehabilitasi jaringan utilitas kota. 

LINGKUP REGIONAL 

 Instansi yang berwenang dalam perencanaan pembangunan pada tingkatan regional di Indonesia adalah Pemda Tingkat I, disamping adanya dinas-dinas daerah maupun vertikal (kantor wilayah).
 Contoh; Dinas PU Propinsi, DLLAJR, Kanwil-kanwil. Sedang badan yang mengkoordinasikannya adalah Bappeda Tk. I di setiap provinsi. 

 Walaupun perencanaan ditingkat kota dan kabupaten konsisten sejalan dengan ketentuan rencana pembangunan yang telah digariskan diatas (tingkat nasional dan regional) daerah tingkat II itu sendiri masih mempunyai kewenangan mengurus perencanaan wilayahnya sendiri 
 Yang penting dalam hal ini pengertian timbal balik, koordinatif.

 Contoh, misalnya ada perencanaan fisik pembangunan pendidikan tinggi di suatu kota, untuk hal ini, selain dilandasi oleh kepentingan pendidikan pada tingkat nasional juga perlu dipikirkan implikasi serta dampaknya terhadap perkembangan daerah tingkat II dimana perguruan tinggi tersebut dialokasikan. 
 Masalah yang sering mennyulitkan adalah koordinasi pembangunan fisik apabila berbatasan dengan kota atau wilayah lain.  

 Ada instansi khusus lainnya yang cukup berperan dalam perencanaan tingkat regional misalnya otorita atau proyek khusus.
 Contoh otorita Batam, Otorita proyek jatiluhur, DAS. 

LINGKUP LOKAL 

 Penanganan perencanaan pembangunan ditingkat local seperti Kodya atau kabupaten ini biasanya dibebankan pada dinas-dinas,
 contoh: Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Kota, Dinas Kebersihan, Dinas Pengawasan Pembangunan Kota, Dinas Kesehatan, Dinas PDAM.

 Koordinasi perencanaan berdasarkan Kepres No.27 tahun 1980 dilakukan oleh BAPPEDA Tk.II.  
 Saat ini perlu diakui bahwa sering terjadi kesulitan koordinasi perencanaan. Masalah ini semakin dirasakan apabila menyangkut dinas-dinas eksekutif daerah dengan dinas-dinas vertikal.

  Di Amerika dan Eropa sejak 20 tahun terakhir telah mengembangkan badan-badan khusus darai pemerintah kota untuk menangani program mota tertentu, seperti program peremajaan kota (urban renewal programmes).
 Badan otorita ini diberi wewenang khusus untuk menangani pengaturan kembali perencanaan fisik terperinci bagian-bagian kota. 

LINGKUP SWASTA 

  Lingkup kegiatan perencanaan oleh swasta di Indonesia semula memang hanya terbatas pada skalanya seperti pada perencanaan perumahan, jaringan utiliyas, pusat perbelanjaan dll. 
 Dewasa ini lingkup skalanya sudah luas dan hampir tidak terbatas.
 Badan-badan usaha konsultan swasta yang menjamur adalah indikasi keterlibatan swasta yang makin meluas. Semakin luasnya lingkup swasta didasari pada berkembangnya tuntutan layanan yang semakin luas dan profesionalisme.

 Kewenangan pihak swasta yang semakin positif menjadi indikator untuk memicu diri bagi Instansi pemerinta maupun BUMN. Persaingan yang muncul menjadi tolok ukur bagi tiap-tiap kompetitor (swasta dan pemerintah) dan berdampak pada peningkatan kualitas layanan/produk. 
 Pihak swasta terkecil adalah individu atau perorangan. Peran individu juga sangat berpengaruh terhadap pola perencanaan pembangunan secara keseluruhan.

 Contoh apabila seseorang membuat rumah maka ia selayaknya membuat perencanaan fisik rumahnya dengan memenuhi peraturan yang berlaku.
 Taat pada peraturan bangunan, aturan zoning, perizinan (IMB) dan sebaginya.
 Kepentingannya dalam membangun harus singkron dengan kepentingan lingkungan disekitarnya, tataran lokal hingga pada tataran yang lebih luas.

C. Sistem Wilayah Pembangunan 

Pengertian wilayah dipahami sebagai ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktifitas. Sementara itu wilayah menurut Hanafiah (1982) adalah unit tata ruang yang terdiri atas jarak, lokasi, bentuk dan ukuran atau skala. Dengan demikian sebagai satu unit tata ruang yang dimanfaatkan manusia, maka penataan dan penggunaan wilayah dapat terpelihara. 

Sedangkan Hadjisaroso (1994) menyatakan bahwa wilayah adalah sebutan untuk lingkungan pada umumnya dan tertentu batasnya. Misalnya nasional adalah sebutan untuk wilayah dalam kekuasaan Negara, dan daerah adalah sebutan untuk batas wilayah dalam batas kewenangan daerah. Selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

Struktur perencanaan pembangunan nasional saat ini mengacu pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional. UU tersebut mengamanahkan bahwa kepala daerah terpilih diharuskan menyusun rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) dan rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) di daerah masing-masing.

 Dokumen RPJM ini akan menjadi acuan pembangunan daerah yang memuat, antara lain visi, misi, arah kebijakan, dan program-program pembangunan selama lima tahun ke depan. Sementara itu juga, dengan dikeluarkan UU No.17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025, maka ke dalam – dan menjadi bagian – dari kerangka perencanaan pembangunan tersebut di semua tingkatan pemerintahan perlu mengintegrasikan aspek wilayah/spasial. 

Dengan demikian 33 provinsi dan 496 kabupaten/kota yang ada di Indonesia harus mengintegrasikan rencana tata ruangnya ke dalam perencanaan pembangunan daerahnya masing-masing). Seluruh kegiatan pembangunan harus direncanakan berdasarkan data (spasial dan nonspasial) dan informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Sesungguhnya landasan hukum kebijakan pembangunan wilayah di Indonesia terkait dengan penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada UU tentang Penataan Ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi kewajiban setiap provinsi, kabupaten dan kota menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. 

Rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat perinci seperti dicerminkan dari tata ruang tingkat provinsi, kabupaten, perkotaan, desa, dan bahkan untuk tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya. Kewajiban daerah menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Menindaklanjuti undang- undang tersebut, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang penataan ruang, meliputi:

1. Pedoman penyusunan RTRW provinsi.
2. Pedoman penyusunan kembali RTRW provinsi.
3. Pedoman penyusunan RTRW kabupaten.
4. Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten.
5. Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
6. Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan.

Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, tata ruang nasional, provinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi. Adanya peraturan perundang-undangan penyusunan tata ruang yang bersifat nasional, seperti UU No. 25 Tahun 2004 dan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 tersebut, kiranya dapat digunakan pula sebagai dasar dalam melaksanakan pemetaan mintakat ruang sesuai dengan asas optimal dan lestari.

Dengan demikian, terkait kondisi tersebut, dokumen rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, RTRW yang ada merupakan bagian terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. RTRW nasional merupakan strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan pemanfaatan ruang antarpulau dan antarprovinsi. RTRW nasional yang disusun pada tingkat ketelitian skala 1:1 juta untuk jangka waktu selama 25 tahun.RTRW provinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan runag wilayah provinsi yang berfokus pada keterkaitan aarkawasan/kabupaten/kota.

 2. RTRW provinsi disusun pada tingkat ketelitian skala 1:250 ribu untuk jangka waktu 15 tahun. Berdasar pada landasan hukum dan pedoman umum penyusunan tata ruang, substansi data dan analisis penyusunan RTRW provinsi mencakup kebijakan pembangunan, analisis regional, ekonomi regional, sumber daya manusia, sumber daya buatan, sumber daya alam, sistem permukiman,nt penggunaan lahan, dan analisis kelembagaan. 

  • Substansi RTRW provinsi meliputi: 
  • Arahan struktur dan pola pemanfaatan ruang; arahan pengelolaan kawasan lindung dan budi daya; arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan tematik; arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya; arahan pengembangan sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan; arahan pengembangan sistem prasarana wilayah; arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan; arahan kebijakan tata guna tanah, air, udara, dan sumber daya alam lain.

3. RTRW kabupaten/Kota merupakan rencana tata ruang yang disusun berdasar pada perkiraan kecenderuangan dan arahan perkembangan untuk pembangunan daerah di masa depan. RTRW kabupaten/kota disusun pada tingkat ketelitian 1:100 ribu untuk kabupaten dan 1:25 ribu untuk daerah perkotaan, untuk jangka waktu 5–10 tahun sesuai dengan perkembangan daerah.

Rangkuman :
Dengan adanya skema perencanaan maka pembangunan seharusnya dapat berjalan dengann lancar dan terorganisir, sehingga pekerjaan dapat selesai pada tepat waktu.


Sumber :








Hukum Perburuhan

Hukum Perburuhan, Adalah seperangkat aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan Industrial antara Pengusaha, di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain. Tidak ada definisi baku mengenai hukum perburuhan di Indonesia. Buku-buku hukum Perburuhan didominasi oleh karya-karya Prof. Imam Soepomo. Guru besar hukum perburuhan di Universitas Indonesia. karyanya antara lain: Pengantar Hukum Perburuhan; Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja dan Hukum Perburuhan, Undang-undang dan Peraturan-peraturan.

Belakangan, pasca-Reformasi Hukum Perburuhan karya-karya Prof. Imam Soepomo dianggap oleh sebagian kalangan sudah tidak relevan lagi. hal ini terutama oleh aktivis Serikat Buruh dan advokat perburuhan. Meskipun di perguruan tinggi yang ada Fakultas Hukumnya di seluruh Indonesia, masih menggunakan buku-buku karya Imam Soepomo sebagai rujukan wajib.

Sejarah Hukum Perburuhan

Pasca reformasi, hukum perburuhan memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik, ideologis bahkan ekonomi Global. proses industrialisasi sebagai bagian dari gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembangannya mulai menuai momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan antara pekerja dan pengusaha sekaligus.

Sebagai Peredam Konflik, tentu ia tidak bisa diharapkan maksimal. Faktanya, berbagai hak normatif perburuhan yang mestinya tidak perlu lagi jadi perdebatan, namun kenyataannya Undang-undang memberi peluang besar untuk memperselisihkan hak-hak normatif tersebut. memang Undang-undang perburuhan juga mengatur aturan pidananya namun hal tersebut masih dirasa sulit oleh penegak hukumnya. Di samping seabrek kelemahan lain yang ke depan mesti segera dicarikan jalan keluarnya.

Masa Orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto benar-benar membatasi Gerakan Serikat Buruh dan Serikat Pekerja. saat itu Organisasi Buruh dibatasi hanya satu organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Pola penyelesaian hubungan Industrial pun dianggap tidak adil dan cenderung represif. TNI saat itu, misalnya, terlibat langsung bahkan diberikan wewenang untuk turut serta menjadi bagian dari Pola Penyelesaian hubungan Industrial. Saat itu, sejarah mencatat kasus-kasus buruh yang terkenal di Jawa Timur misalnya Marsinah dan lain-lain.

UNDANG UNDANG PERBURUHAN  NO.12 TH 1948
Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh


Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.

Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Adanya bunyi dari Undang-Undang Perburuhan No.12 Th 1948 :
Pasal 10.

(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan      dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak          boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang           sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam bekerja termaksud dalam       ayat 1.

Pasal 13. ayat 2

(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan           akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta


Menimbang:
bahwa untuk lebih menjamin ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat adil makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik, beserta perinciannya, perlu segera dikeluarkan Undang-Undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.

Pasal 1

(1) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dilarang:
a. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter         selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.

b. Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap
    Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang             diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh.

Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

(2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan.
Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan.

Pasal 5
(1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

(2) permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2 tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham.

Pasal 6
Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.

Pasal 7
(1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hasil ini yang dimuat dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan.

(2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa, dan ganti kerugian lain-lainnya.

(3) Penetapan besarnya uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Perburuhan.

(4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas.

Pasal 8
Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Pusat atau pemberian izin dengan syarat tersebut pada pasal 7
ayat (2), dalam waktu 14 (empat betas) hari setelah pemutusan diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/ atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat diminta banding kepada Panitia Pusat.

Pasal 9
Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat banding.

Pasal 10
Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum.

Pasal 11
Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya.

Pasal 12
Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di perusahaan-perusahaan swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka, asal mempunyai masa kerja dari 3 (tiga) bulan berturut-turut.

Pasal 13
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur dalam Undang-undang ini ditetapkan oleh Menteri Perburuhan.

Pasal 14
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Rangkuman :
Dengan adanya hukum perburuhan seharusnya sudah tidak ada lagi kekerasan dan demo para buruh, karena segala sesuatunya telah diatur oleh undang-undang, dan seharusnya semua pemilik perusahaan dapat menerapkannya sehingga buruh dapat hiudp lebih layak, dan buruh pun tidak menuntut lebih dari apa yang telah ada pada undang-undang.


Sumber :


Hukum Perikatan

Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.

Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.

Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
  2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
  3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )

Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :

  1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
  2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
  3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

A. Perjanjian 


Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata. Sebagaimana diatur dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di dalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk di dalamnya perjanjian khusus yang dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa, dan perjanjian pinjam - meminjam.

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang berdasarkan mana yang satu berhak menuntut hal dari pihak lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 

Pengertian perjanjian secara umum adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itulah maka timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji - janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. 

Sedangkan definisi dari perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan. Perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret atau suatu peristiwa. 

Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatuhubungan hukum, perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.

Disamping perjanjian kita mengenal pula istilah kontrak. Secara gramatikal, istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris, contract. Baik perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak kedalam suatu hubungan hukum perikatan. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktek bisnis. Karena jarang sekali orang menjalankan bisnis mereka secara asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis, sehingga kontrak dapat juga disebut sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis.

B. Undang-Undang 


Perikatan solider atau tanggung renteng. Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng, jika berdasarkan kehendak para pihak atau ketentuan undang-undang :
  1. Setiap kreditur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan prestasi daridebitur, dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur membebaskan debitur darikreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif). 
  2. Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur ataskeseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur, membebaskandebitur-debitur lainnya (tanggung renteng pasif).
Tanggung renteng terjadi karena :

  1. Berdasarkan pernyataan kehendak Menurut pasal 1278 BW terdapat perikatan tanggung renteng aktif, jika dalam persetujuan secarategas dinyatakan bahwa kepada masing-masing kreditur diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh prestasi. 
  2. Berdasarkan ketentuan undang-undangPerikatan tanggung renteng yang timbul dari undang-undang tidak banyak kita jumpai. Undang-undang hanya mengatur mengenai perikatan tanggung renteng pasif. Ketentuan-ketentuan yangmengatur perikatan tanggung renteng dalam BW adalah pasal 563 BW ayat 2. Mereka yangmerampas dengan kekerasan dan orang yang menyuruhnya tanggungjawab untuk seluruhnyasecara tanggung menanggung.

Rangkuman : 
Dengan adanya ketentuan dan aturan-aturan yang sudah jelas dalam undang-undang hukum perikatan, perjanjian dapat berjalan dengan teratur dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Sumber :