Sabtu, 10 Maret 2012

Studi Kasus : Bangunan Hasil Akulturasi

Meneropong Akulturasi Budaya Lewat Bangunan Menara Kudus

SUASANA religius yang kental tercipta, percampuran serasi antara arsitektur bangunan sekitar yang menghadirkan suasana 'kota lama', dengan hiruk pikuk pedagang yang menjual dagangan bernuansa Islami. Suasana menjadi semakin sejuk saat bulan Ramadan dan sayup-sayup terdengar suara lantunan ayat-ayat Al Quran, terurai dengan lembut namun memberikan kedamaian bagi siapa saja yang mendengarnya. Suasana itulah yang tercipta saat menapakkan langkah di desa Kauman, kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Bangunan mirip sebuah menara, yang dibangun dengan tumpukan bata merah, nampak sederhana namun anggun, berdiri kokoh dan tak nampak termakan usia padahal sudah sejak 1549 Masehi atau tahun 956 Hijriah lalu pertama kali didirikan. Masjid Menara Kudus, bangunan bersejarah yang juga merupakan tempat beribadah itu hingga kini masih menampakan pesonanya.
Pada awal mulanya, Masjid ini dinamakan sama dengan nama salah satu masjid di Palestina oleh Ja'far Sodiq (Sunan Kudus), yaitu Al- Aqsa. Beliau juga pernah menempatkan batu yang diperoleh dari Baitul Maqdis, Palestina, sebagai batu pertama pendirian masjid tersebut.
Terbesit rasa aneh dan takjub saat mengamati bangunan Menara Kudus. Arsitektur yang ditampilkannya tidak mencerminkan bangunan masjid pada umumnya. Menara Kudus memakai arsitektur bercorak Hindu Majapahit. Bangunan masjid bila ditilik dari kacamata sejarah merupakan bentuk akulturasi budaya antara unsur Hindu dan Islam.
Pertimbangan memadukan unsur–unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam merupakan wujud adanya akulturasi dalam Islam, khususnya di Jawa. Menara Kudus merupakan salah satu pembauran Kebudayaan Hindu dengan kebudayaan Islam. Agama Islam di Jawa disebarkan dengan proses selektif tanpa kekerasan, sehingga sebagian nilai-nilai lama masih ada tetap diterima untuk dikembangkan.
Kebudayaan hindu telah tertanam dengan erat dalam masyarakat sekitar. Ajaran agama Islam yang masuk tanpa kekerasan sifatnya terbuka terhadap unsur-unsur kebudayaan lama, yang ada sebelum Islam masuk. Karena itulah wujud arsitektur Islam, khususnya arsitektur masjid di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh faktor sejarah, latar belakang kebudayaan daerah, faktor lingkungan serta adat istiadat masyarakat setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar