Minggu, 05 April 2015

Konservasi Arsitektur ( Kota Pinang )

Kotapinang adalah sebuah kecamatan sekaligus pusat pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, Indonesia.

Jarak kota ini adalah 345 km dari kota Medan, ibukota provinsi Sumatera Utara. Dahulu, ibukota kecamatan ini, Kotapinang yang juga merupakan ibukota Kabupaten Labuhanbatu Selatan pernah menjadi ibukota Kesultanan Kota Pinang.


Kesultanan Kota Pinang berdiri pada tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara. Kesultanan ini dikuasai oleh Hindia Belanda pada tahun 1837, sebelum akhirnya melebur ke dalam negara Indonesia pada tahun 1946.
Kesultanan Kota Pinang pada mulanya bernama Kesultanan Pinang Awan. Kesultanan ini didirikan oleh Batara Sinomba atau Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti, putra Sultan Alamsyah Syaifuddin yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Sultan Batara Sinomba kemudian menikah dengan seorang puteri setempat. Ia memperoleh dua orang putra dan seorang putri yang bernama Siti Ungu Selendang Bulan. Kemudian ia menikah lagi dengan seorang putri setempat lainnya dan memperoleh seorang putra. Istrinya yang kedua berusaha mempengaruhi Batara Sinomba agar putranyalah yang kelak menggantikannya sebagai raja, sehingga kedua orang putra raja dari istri yang pertama itu diusir. Setelah membunuh Batara Sinomba berkat bantuan tentara Kerajaan Aceh, maka Sultan Mangkuto Alam putra dari istri yang pertama, naik tahta menjadi sultan Kota Pinang.
Sebagai balas jasa, Siti Ungu dinikahkan kepada raja Aceh, Sultan Iskandar Muda. Kelak keturunan Mangkuto Alam dan Siti Ungu inilah kemudian yang menjadi raja-raja di Kesultanan Asahan, Pannai, dan Bilah.


      Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun 1945, para sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai raja kembali dipulihkan. Namun setahun kemudian, pergerakan anti-kaum bangsawan dalam sebuah Revolusi Sosial Sumatera Timur, tak menginginkan adanya pemulihan sistem feodalisme tersebut. Akibatnya kesultanan-kesultanan yang ada di Sumatera Timur, seperti Deli, Langkat, Serdang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Kota Pinang, dipaksa untuk berakhir dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Bangunan Istana Kesultanan Kotapinang kini semakin rusak dan memprihatinkan. Tidak ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah daerah maupun perhatian dari keluarga ahli waris Sultan Mustafa. Pantauan wartawan SIB, bangunan bersejarah Kesultanan Kotapinang terlihat semakin rusak mulai dari lantai, dinding, tangga rusak berkeping-keping. Bahkan di sekeliling bangunan bertingkat ditumbuhi semak belukar dan sebidang lahan istana hampir punah berganti menjadi milik rakyat.
Menanggapi tidak adanya tanda-tanda perbaikan ataupun perhatian serius terhadap kondisi bangunan Sultan Mustafa Kotapinang, Iwan pemilik Rumah Makan Nusantara Kotapinang juga mengharapkan dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk konservasi dan pelestarian Istana Kesultanan Mustafa Kotapinang dapat dikelola menjadi konteks industri pariwisata.

Sumber : 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar