Kotapinang adalah sebuah kecamatan sekaligus pusat
pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, Indonesia.
Jarak kota ini adalah 345 km dari kota Medan,
ibukota provinsi Sumatera Utara. Dahulu, ibukota kecamatan ini, Kotapinang yang
juga merupakan ibukota Kabupaten Labuhanbatu Selatan pernah menjadi ibukota
Kesultanan Kota Pinang.
Kesultanan Kota Pinang berdiri pada tahun 1630 di
wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara.
Kesultanan ini dikuasai oleh Hindia Belanda pada tahun 1837, sebelum akhirnya
melebur ke dalam negara Indonesia pada tahun 1946.
Kesultanan Kota Pinang pada mulanya bernama
Kesultanan Pinang Awan. Kesultanan ini didirikan oleh Batara Sinomba atau
Batara Gurga Pinayungan Tuanku Raja Nan Sakti, putra Sultan Alamsyah Syaifuddin
yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung.
Sultan Batara Sinomba kemudian menikah dengan
seorang puteri setempat. Ia memperoleh dua orang putra dan seorang putri yang
bernama Siti Ungu Selendang Bulan. Kemudian ia menikah lagi dengan seorang
putri setempat lainnya dan memperoleh seorang putra. Istrinya yang kedua
berusaha mempengaruhi Batara Sinomba agar putranyalah yang kelak
menggantikannya sebagai raja, sehingga kedua orang putra raja dari istri yang
pertama itu diusir. Setelah membunuh Batara Sinomba berkat bantuan tentara
Kerajaan Aceh, maka Sultan Mangkuto Alam putra dari istri yang pertama, naik
tahta menjadi sultan Kota Pinang.
Sebagai balas jasa, Siti Ungu dinikahkan kepada raja
Aceh, Sultan Iskandar Muda. Kelak keturunan Mangkuto Alam dan Siti Ungu inilah
kemudian yang menjadi raja-raja di Kesultanan Asahan, Pannai, dan Bilah.
Setelah Jepang meninggalkan Indonesia pada tahun
1945, para sultan di Sumatera Timur menghendaki kedudukannya sebagai raja
kembali dipulihkan. Namun setahun kemudian, pergerakan anti-kaum bangsawan
dalam sebuah Revolusi Sosial Sumatera Timur, tak menginginkan adanya pemulihan
sistem feodalisme tersebut. Akibatnya kesultanan-kesultanan yang ada di
Sumatera Timur, seperti Deli, Langkat, Serdang, Bilah, Panai, Kualuh, dan Kota
Pinang, dipaksa untuk berakhir dan bergabung dengan Republik Indonesia.
Bangunan Istana Kesultanan Kotapinang kini semakin
rusak dan memprihatinkan. Tidak ada tanda-tanda perbaikan dari pemerintah
daerah maupun perhatian dari keluarga ahli waris Sultan Mustafa. Pantauan
wartawan SIB, bangunan bersejarah Kesultanan Kotapinang terlihat semakin rusak
mulai dari lantai, dinding, tangga rusak berkeping-keping. Bahkan di sekeliling
bangunan bertingkat ditumbuhi semak belukar dan sebidang lahan istana hampir
punah berganti menjadi milik rakyat.
Menanggapi tidak adanya tanda-tanda perbaikan
ataupun perhatian serius terhadap kondisi bangunan Sultan Mustafa Kotapinang,
Iwan pemilik Rumah Makan Nusantara Kotapinang juga mengharapkan dukungan dari
pemerintah daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan untuk konservasi dan
pelestarian Istana Kesultanan Mustafa Kotapinang dapat dikelola menjadi konteks
industri pariwisata.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar