Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Kecamatan ini terletak di bagian barat
Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan
terletak di jalan nasional yang menghubungkan Surabaya-Solo.
Di kecamatan ini terdapat puluhan situs
seluas hampir 100 kilometer persegi berupa bangunan, temuan arca, gerabah, dan
pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit. Diduga kuat, pusat kerajaan berada di
wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama
dan dalam sebuah sumber Cina dari abad ke-15. Trowulan dihancurkan pada tahun
1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu
ibukota Majapahit berpindah ke Daha.
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian
dari permukiman kuno yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik
beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas
Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah Kecamatan Trowulan.
Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan beberapa situs lainnya
telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari bahan bata merah.
Candi Tikus
Candi Tikus adalah kolam pemandian ritual
(petirtaan). Kolam ini mungkin menjadi temuan arkeologi paling menarik di
Trowulan. Nama 'Candi Tikus' diberikan karena pada saat ditemukan tahun 1914,
situs ini menjadi sarang tikus. Dipugar menjadi kondisi sekarang ini pada tahun
1985 dan 1989, kompleks pemandian yang terbuat dari bata merah ini berbentuk
cekungan wadah berbentuk bujur sangkar. Di sisi utara terdapat sebuah tangga
menuju dasar kolam. Struktur utama yang menonjol dari dinding selatan
diperkirakan mengambil bentuk gunung legendaris Mahameru. Bangunan yang tidak
lagi lengkap ini berbentuk teras-teras persegi yang dimahkotai menara-menara
yang ditata dalam susunan yang konsentris yang menjadi titik tertinggi bangunan
ini.
Tidak jauh dari Candi Tikus, di desa Temon
berdiri gapura Bajang Ratu, sebuah gapura paduraksa anggun dari bahan bata
merah yang diperkirakan dibangun pada pertengahan abad ke-14 M. Bentuk bangunan
ini ramping menjulang setinggi 16,5 meter yang bagian atapnya menampilkan
ukiran hiasan yang rumit. Bajang ratu dalam bahasa Jawa berarti 'raja
(bangsawan) yang kerdil atau cacat.' Tradisi masyarakat sekitar mengkaitkan
keberadaan gapura ini dengan Raja Jayanegara, raja kedua Majapahit. Berdasarkan
legenda ketika kecil Raja Jayanegara terjatuh di gapura ini dan mengakibatkan
cacat pada tubuhnya. Nama ini mungkin juga berarti "Raja Cilik"
karena Jayanegara naik takhta pada usia yang sangat muda. Sejarahwan
mengkaitkan gapura ini dengan Çrenggapura (Çri Ranggapura) atau Kapopongan di
Antawulan (Trowulan), sebuah tempat suci yang disebutkan dalam Negarakertagama
sebagai pedharmaan (tempat suci) yang dipersembahkan untuk arwah Jayanegara
yang wafat pada 1328.
Gapura Wringin Lawang
Wringin Lawang terletak tak jauh ke selatan
dari jalan utama di Jatipasar. Dalam bahasa Jawa, "Wringin Lawang"
berarti "Pintu Beringin". Gapura agung ini terbuat dari bahan bata
merah dengan luas dasar 13 x 11 meter dan tinggi 15,5 meter. Diperkirakan
dibangun pada abad ke-14. Gerbang ini lazim disebut bergaya 'candi bentar' atau
tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur seperti ini mungkin muncul pada era
Majapahit dan kini banyak ditemukan dalam arsitektur Bali. Kebanyakan
sejarahwan sepakat bahwa gapura ini adalah pintu masuk menuju kompleks bangunan
penting di ibu kota Majapahit. Dugaan mengenai fungsi asli bangunan ini
mengundang banyak spekulasi, salah satu yang paling populer adalah gerbang ini
diduga menjadi pintu masuk ke kediaman Mahapatih Gajah Mada.
Makam Puri Cempa
Lokasi : Terletak di desa Trowulan, kecamatan
Trowulan, dapat dicapai dari peremapatan Trowulan ke arah selatan sekitar 500
m, kemudian pada sebuah simpang tiga belok ke timur sejauh lebih kurang 250m.
tepatnya bangunan Makam Putri Cempa di sebelah timur Laut Kolam Segara.
Makam Putri Cempa dikeramatkan terutama pada
hari-hari tertentu yaitu pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Legi ramai dipenuhi
oleh para wisatawan dalam berbagai keperluan. Nama “Putri Cempa” adalah nama
yang diberikan berdasarkan cerita rakyat. Obyek yang mempunyai nilai
kepurbakalaan adalah batu nisan berangka tahun 1370 Saka (1448 M) dalam huruf
Jawa Kuno. Nisan berangka tahun tersebut sebanyak dua buah, yang satu terletak
di makam utama yaitu di halaman paling belakang di tempat yang letaknya agak
tinggi dan sebuah lagi di halaman tengah dalam ukuran lebih kecil. Yang pertama
berukuran, tinggi : 62 cm, lebar ; 43 cm, dan tebal : 13 cm. sedangkan yang
kedua, tinggi : 32 cm, lebar : 22 cm, dan tebal : 11 cm. peristiwa apa yang
ditandai dengan tahun 1370 Saka tersebut belum dapat dipecahkan. Kemungkinan
komplek makam Putri
Cempa adalah makam-makam bangsawan atau
Keluarga majapahit yang telah masuk agama islam.
Candi Bajangratu
Lokasi : Candi Bajangratu terletak di Dukuh
Kraton, desa Temon kecamatan Trowulan. Perjalanan dapat ditempuh dari
perempatan Dukuh Nglinguh ke arah timur sejauh kurang lebih 2 Km. Candi
Bajangratu terletak sekitar 200 m masuk ke utara dari jalan desa.
Candi Bajangratu sewaktu ditemukan dalam
keadaan yang mengkhawatirkan, untuk menghindari kerusakan, maka pada tahun 1890
dipasangkan balok-balok kayu sebagai penyangga langit-langit. Kemudian diganti
dengan besi. Penyelamatan bangunan dari reruntuhan diselesaikan pada tahun
1915, sedang penggalian serta penyelidikan di sekitar candi tahun 1991.
Bangunan yang ada sekarang adalah hasil pemugaran dari tahun 1985 / 1986
kemudian dilanjutkan tahun anggaran 1988 / 1989 sampai dengan 1990 / 1991.
Bentuk Bangunan
Candi Bajangratu berbentuk Gapura pintu
masuk, terbuat dari batu bata merah kecuali undak-undakannya dan bagian atas
langit-langit dan ambang atas terbuat dari batu andesit. Candi Bajangratu
sebenarnya adalah gapura atau regol, modelnya seperti candi Bentar tetapi ada
tutup di atasnya sering disebut Paduraksa diikuti dengan Semartinandu artinya
depan dan belakang hampir sama. Candi bajangratu sebelah kiri dan kanan
terdapat samprangan dinding yang membujur ke arah timur dan barat. Maka Candi
Bajangratu termasuk gapura bersayap. Model semacam ini dapat ditemukan di
daerah lain seperti :
- Komplek makam Sendang Duwur di Pacitan, Lamongan.
- Gapuro Jedong di Ngoro, Mojokerto.
- Plumbangan di Blitar.
Gapuro Bajangratu tinggi 16,10 meter, lebar
1,74 m dan panjang 11,20 meter. Umurnya candi Jawa Timur berbentuk kubus dan
ramping. Bagian mahkota bangunan merupakan perpaduan tingakatan yang merupakan
kesatuan makin ke atas makin kecil dan diselingi dengan pelipit-pelipit yang
mendatar. Pelipit-pelipit tersebut dihiasi dengan sulur daun-daunan yang pada
bagian tengahnya dan bagian sudutnya berhiaskan bentuk “Plata batu” atau
monokol simblop artinya semua bagian-bagian tidak ada yang sama jadi hanya
satu. Antara menara-menara tersebut juga diselingi pelipit-pelipit mendatar.
Yang sangat menarik adanya ukiran-ukiran yang berupa sepasang cakar yang diapit
oleh Naga pada bagian atap gapura.
Pada dinding kanan sayap gapura tedapat
relief Ramayana sedang pada bagian kaki gapura kanan tangga masuk pada bidang
menghadap ke selatan dan timur terdapat relief Sri Tanjung.
Menurut pendapat Sri Suyatmi menghubungkan
dengan wafatnya Raja Jayanegara yang mangkat tahun 1328. Apabila pembangunan
gapura dilaksanakan 12 tahun setelah pesta Srada maka pendirian gapura
Bajangratu berlangsung tahun 1340. Bentuk pintu sudah ada penyangga atap
terbuat dari besi. Hal ini masih ada jenang pintu. Kemungkinan gapura ini
dulunya berpintu dapat ditutup sebagaimana disebutkan dalam buku Negara
Kertagama pintu terbuat dari besi yang berukir.
Candi Bajangratu dalam Mithos :
Ketika permaisuri raja Brawijaya V dari
Majapahit yang bernama Dewi Arimbi sedang dalam keadaan hamil sang prabu
memerintahkan untuk membangun sebuah gapura dengan maksud sebagai gerbang masuk
ke tempat kediaman calon putra mahkota yang akan lahir. Dewi Arimbi adalah
sebenarnya seorang puteri raksasa yang berasal dari Negeri Alengka. Ketika
kandungan semakin tua dan melahirkan rahasia sang puteri diketahui oleh sang
Prabu dan terdorong oleh rasa malu sang puteri kemudian meninggalkan istana dan
ke hutan Damarwulan, di Kuncong Kediri. Di sini sang puteri melahirkan seorang
anak laki-laki yang kemudian diberi nama Arya Damar.
Pembangunan gapura terpaksa tidak dilanjutkan
hanya bagian kiri dan kanan gapura dipahatkan relief raksasa seolah-olah gambar
Dewi Arimbi. Karena gapura ini gagal untuk Kraton maka kemudian dikenal dengan
nama Bajangratu, artinya wurung tidak jadi ratu. Cerita ini membekas di
masyarakat terbukti masih ada kepercayaan tabu, bagi para pejabat pemerintah
untuk memasuki gapuro karena akan membawa kesialan (wurung).
Situs penting lainnya antara lain:
- Balong Bunder
- Balai Penyelamatan
- Situs pengrajin emas dan perunggu
- Nglinguk
- Candi Kedaton
- Sentonorejo
- Candi Sitinggil
- Candi Jedong
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar