Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah
Istimewa setingkat provinsi di Indonesia yang merupakan peleburan Negara
Kesultanan Yogyakarta dan Negara Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa bagian tengah, dan
berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia.
Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80
km2 ini terdiri atas satu kota, dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi
78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki
jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki, dan
1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per
km2[6].
Penyebutan nomenklatur Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya penyingkatan
nomenklatur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini sering
diidentikkan dengan Kota Yogyakarta sehingga secara kurang tepat sering disebut
dengan Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta.
Walaupun memiliki luas terkecil ke dua
setelah Provinsi DKI Jakarta, Daerah Istimewa ini terkenal di tingkat nasional,
dan internasional, terutama sebagai tempat tujuan wisata andalan setelah
Provinsi Bali. Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami beberapa bencana alam besar
termasuk bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006, dan erupsi Gunung Merapi pada
medio Oktober-November 2010.
Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan
karya arsitektur yang bernilai tinggi dari segi kesejarahan maupun
arsitekturalnya, terutama peninggalan bangunan bergaya jaman kolonial Belanda.
Peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda di Yogyakarta antara lain
berupa: bangunan-bangunan benteng, perkantoran dan kawasan perumahan. Salah
satu peninggalan karya arsitektur jaman kolonial Belanda yang terkenal di Yogyakarta
adalah kawasan perumahan Kotabaru. Selain kekhasan secara fisik, terdapat aspek
kesejarahan yang menjadikan kawasan Kotabaru menjadi kawasan yang khusus dalam
hubungannya dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kekhasan kawasan Kotabaru
terlihat secara visual sangat terasa berbeda dengan sebagian besar
kawasan-kawasan di Yogyakarta yang lain.
Bila kawasan-kawasan di pusat kota lain cenderung
tampilan visualnya didominasi oleh wajah bangunan, tidak demikian halnya dengan
kawasan Kotabaru. Pepohonan yang rindang di bagian depan bangunan dan
ruang-ruang tepi jalan mendominasi karakteristik visual kawasan ini. Cakupan
wilayah yang relatif luas dan fungsi-fungsi bangunan di kawasan ini, terutama di
masa awal pembentukannya, menjadikan masyarakat sering menyebut kawasan Kotabaru
dirancang dengan inspirasi konsep Garden City
Peta Kawasan Kotabaru terhadap Kotamadya Yogyakarta
(Sumber: Kristiawan, 2013)
Kawasan Kota Baru merupakan kawasan perumahan
bagi orang Belanda yang dibangun setelah Perang Dunia I, atau pada akhir
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII yaitu tahun 1877 1921.
Kawasan ini merupakan kawasan yang benarbenar baru dibangun terpisah dari Kota
Yogyakarta lama.
Bila diperhatikan dengan seksama pada awal
keberadaannya, kawasan perumahan atau perkampungan di Yogyakarta berkembang
bersama-sama dengan perkembangan pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perkampungan yang ada, pada awal berdirinya dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu perkampungan untuk kaum pribumi dan untuk orang asing (orang eropa dan
“orang kulit putih” lainnya).
Perkampungan untuk kaum pribumi di luar
keraton dimulai dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asrama para
anak buah angkatan perang dan para perwiranya. Perumahan untuk orang asing
(Belanda) di Yogyakarta dimulai dengan
ijin berdirinya benteng Vredeburg. Selanjutnya beberapa daerah di Yogyakarta
diperkenankan berdiri tempat tinggal untuk orang kulit putih atau Eropa.
Daerah-daerah tersebut mulai dari kawasan Loji Kecil, yang berada di sekitar
Benteng Vredeburg. Berkembangnya jumlah orang Eropa yang masuk ke sekitar
wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memerlukan tempat tinggal untuk
bermukim.
Ditinjau dari sisi sejarah, kawasan tempat
tinggal bagi orang Eropa di sekitar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dimulai
dari kawasan Loji Kecil, meluas ke jalan Setyodiningratan, Kampung Bintaran,
kampung Jetis hingga terakhir di Kota Baru (Darmosugito, 1956). Cornelis Canne
sebagai residen saat itu meminta ijin pada Sri Sultan Hamengku Buwana VII agar
diperbolehkan menggunakan lahan di sebelah utara kota guna tempat permukiman
khusus orang Eropa. Hal ini dilakukan karena jumlah orang Eropa semakin banyak
dan Kawasan Bintaran juga semakin sesak.
Lahan yang tersedia tersebut berada di
sebelah timur Sungai Code (di lahan yang disewa oleh perkebunan tebu
Muja-Muju), yang akhirnya dibangun sebagai kawasan permukiman bernama nieuwe
wijk (Bruggen & Wassing, 1998 dalam Wahyu, 2011).
Periode penting yang dilalui kawasan Kotabaru
dalam perkembangannya terjadi sebelum kemerdekaan, masa kemerdekaan dan setelah
kemerdekaan. Sebelum kemerdekaan kawasan Kotabaru melewati masa Penjajahan
Belanda dan masa Penjajahan Jepang. Masa Penjajahan Belanda merupakan awal
berdirinya kawasan perumahan Kotabaru yaitu tahun 1920, yang dibangun Belanda
untuk perumahan khusus bagi bangsa Eropa. Mereka bekerja di bidang pemerintahan
dan sector perkebunan.
Masuknya bangsa Jepang menjajah Indonesia,
membuat kawasan Kotabaru dialihtangankan pengelolaannya ke tangan Jepang. Oleh
banga Jepang Kawasan Kotabaru dimanfaatkan sebagai kawasan perkantoran,
perumahan, tangsi dan gudang. Walaupun dilakukan perubahan fungsi pada
bangunan, namun tidak dilakukan perubahan fisik bangunan yang signifikan.
Periode kemerdekaan Indonesia tahun 1945 terhadap kawasan Kotabaru tidak
berakibat pada perubahan pada fisik bangunan, namun terjadi peristiwa-peristiwa
penting bagi perjuangan kemerdekaan yang terjadi. Peristiwa penting yang
terjadi kawasan Kotabaru masa kemerdekaan dikenal dengan peristiwa “Pertempuran
Kotabaru”. Tepatnya terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945, yang berawal dari
kegiatan pelucutan senjata tentara Jepang oleh kaum pemuda yang tidak menemui
titik temu sehari sebelumnya.
Hal ini berakibat meletusnya pertempuran
dengan tentara Jepang pada tanggal tersebut. Terdapat 21 orang pemuda Indonesia
yang gugur dan 360 tentara Jepang yang ditawan (Wahyu, 2011). Akibat secara
fisik peristiwa “Pertempuran Kotabaru” terhadap kawasan Kotabaru terjadi
sesudahnya, yaitu pada masa setelah kemerdekaan dengan dibangunnya
monumen-monumen untuk mengenang peristiwa tersebut.
Setelah masa kemerdekaan perubahan secara
fisik sangat mencolok terjadi di kawasan Kotabaru, terutama setelah tahun 1997.
Hal ini terjadi setelah mulai berubahnya fungsi bangunan rumah tinggal menjadi
fungsi lainnya. Fungsi baru yang mengubah fungsi rumah tinggal di kawasan
Kotabaru terutama adalah fungsi bangunan komersial (toko, dan restoran), fungsi
bangunan perkantoran, fungsi bangunan
kesehatan dan fungsi bangunan pendidikan.
Karakteristik kawasan yang kuat terletak pada struktur
kawasan yang berpola radial dan ruang terbuka hijau yang luas. Bila memasuki kawasan
Kotabaru akan didapat suasana berbeda dengan kawasan Yogyakarta lainnya yang
kebanyakan masih tertata mengikuti arah mata angin. Pohon-pohon besar, tanaman
ditaman dan tanaman buah banyak terdapat di kawasan ini. Area hijau yang luas
terdapat di kawasan Kotabaru yang dilengkapi boulevard dan ruas jalan yang cukup
lebar dengan pepohonan di kiri dan
kanannya.
Salah
Satu Boulevard di Kawasan Kotabaru
Secara arsitektural karakteristik
arsitektural bangunan jaman kolonial Belanda marupakan karakteristik ekspresi
bangunan yang dominan di kawasan Kotabaru Yogyakarta. Karakteristik tersebut
terdapat secara spesifik pada aspek skala yang cenderung lebih besar, proporsi
kepala-badan-kaki bangunan, permukaan dan prinsipprinsip desainnya. Antara
bangunan satu dengan bangunan lain memiliki ciri khas berupa ruang terbuka
hijau yang sebelumnya ditanami pepohonan atau berupa taman.
Contoh Bangunan Gaya Jaman Kolonial Belanda di Kawasan
Kotabaru
Sumber: Yanuarius Benny Kristiawan
Kesimpulan :
Memang selama ini Yogyakarta sudah mampu
menjual beberapa heritage-nya sebagai obyek wisata seperti Candi Prambanan,
Candi Ratu-Boko, komplek Kerajaan Mataram Islam (Keraton), Taman Sari,
Pakualaman, makam raja-raja Imogiri, serta makam Kotagede. Namun, keberadaan
bangunan heritage yang sudah dijual, masih bisa dihitung dengan jari. Padahal,
kekuatan mahadahsyat lainnya, masih tersimpan cukup banyak. Ibarat pasukan
tempur, DIY masih memiliki ribuan “amunisi”, yang siap dimuntahkan guna
“menembak” para wisatawan untuk datang ke kawasan ini. Disisi inilah, para
pemangku kepentingan yang berkaitan dengan wisata “kota tua” DIY, perlu
berkreasi, dan berinovasi untuk lebih menggali potensi kekayaan bangunan
heritage beserta dengan budaya yang dimilikinya.
Sumber :